1. HUKUM, NEGARA DAN PEMERINTAH
A. HUKUM
Sukar kiranya untuk memberikan
suatu definisi tentang hukum. Beberapa perumusan yang ada, masing-masing
menonjolkan segi tertentu dari hukum. Di dalam bukunya "Pengantar Dalam
Hukum Indonesia", Utrecht memberikan batasan hukum sebagai himpunan
eraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan) yang mengurus
tata tertib dalam masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
Selain Utrecht beberapa Sarjana
Hukum Indonesia lainnya telah pula merumuskan definisi hukum. Di antaranya
adalah JCT. Simorangkir SH. dan Woerjono Sastropranoto SH. yang mendefinisikan
hukum sebagai peraturan¬peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh Badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
a) Ciri-ciri dan Sifat Hukum
Agar dapat mengenal hukum lebih
jelas, maka kita perlu mengenal ciri dan sifat dari hukum itu sendiri.
Ciri hukum adalah :
— adanya
perintah atau larangan
— perintah
atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.
Agar tata tertib dalam masyarakat
dapat dilaksanakan dan tetap terpelihara dengan baik, perlu ada peraturan yang
mengantur dan memaksa tata tertib itu untuk ditaati yang disebutkaidah hukum.
Dan kepada barangsiapa yang melanggar baik disengaja atau tidak, dapat dikenai
sangsi yang berupa hukuman.
Akan tetapi ternyata tidak setiap
orang mau menaati kaidah hukum tersebut, oleh karena itu agar peraturan hidup
itu benar-benar dilaksanakan dan ditaati, maka perlu dilengkapi dengan unsur
memaksa. Dengan demikian hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Sehingga
hukum menjadi peraturan hidup yang dapat memaksa orang untuk menaati serta
dapat memberikan sangsi tegas terhadap setiap orang yang tidak mau mematuhinya.
b) Sumber-sumber Hukum
Ialah segala sesuatu yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang memaksa, yang kalau
dilanggar dapat mengakibatkan sangsi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum dapat ditinjau dari
segi formal dan segi material. Sumber hukum material dapat kita tinjau lagi
dari berbagai sudut, misalnya dari sudut politik, sejarah, ekonomi dan
lain-lain.
Sedangkan sumber hukum formal
antara lain ialah :
1) Undang-undang (Statute)
Ialah suatu peraturan negara yang
mempunyai kekuasaan hukum yang
mengikat, diadakan dan dipelihara
oleh penguasa negara;
2) Kebiasaan (Costum)
Ialah perbuatan manusia yang
tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh
masyarakat. Sehingga tindakan yang berlawanan dianggap sebagai pelanggaran
perasaan hukum.
3) Keputusan-keputusan hakim (Yurisprudensi)
Ialah keputusan hakim terdahulu
yang sering dijadikan dasar keputusan hakim kemudian mengenai masalah yang
sama.
4) Traktat (Treaty)
Ialah perjanjian antara dua orang
atau lebih mengenai sesuatu hal, sehingga masing-masing pihak yang bersangkutan
terikat dengan isi perjanjian tersebut.
5) Pendapat Sarjana Hukum
Ialah pendapat para sarjana yang
sering dikutip para hakim dalam menyelesaikan suatu masalah.
c) Pembangian Hukum
1) Menurut "sumbernya"
hukum dibagi dalam :
- Hukum
Undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
- Hukum
Kebiasaan, yaitu hukum yang terletak pada kebiasaan (adat).
- Hukum
Traktat, ialah hukum yang ditetapkan oleh negara-negara dalam suatu perjanjian
antar negara.
- Hukum
Yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
2) Menurut "bentuknya"
hukum dibagi dalam :
- Hukum
tertulis, yang terbagi lagi atas :
- hukum
tertulis yang dikodifikasikan ialah hukum tertulis yang telah dibukukan
jenis-jenisnya dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
- hukum
tertulis tak dikodifikasikan.
- Hukum
tak tertulis.
3) Menurut "tempat
berlakunya" hukum dibagi dalam:
- Hukum
Nasional ialah hukum dalam suatu negara.
- Hukum
Internasional ialah hukum yang mengatur hubungan internasional.
- Hukum
Asing ialah hukum dalam negara lain.
- Hukum
gereja ialah norma gereja yang ditetapkan untuk anggota-anggotanya.
4) Menurut "waktu
berlakunya" hukum dibagi dalam:
- Ius
Constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku sekarang hagi suatu masy
arakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
- Ius
Constituendum ialah hukum yang diharapkan akan berlaku di waktu yang akan
datang.
- Hukum
Asasi (hukum alam) ialah hukum yang berlaku dalam segala bangsa di dunia.
5) Menurut "cara
mempertahankannya" dibagi dalam :
- Hukum
material ialah hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan
hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan iarangan.
Contoh : Hukum Perdata, dan
lain-lain. Oleh karena itu, bila kita berbicara Hukum Pidana atau Perdata, maka
yang dimaksud adalah Hukum Pidana atau Perdata material.
Hukum Formal (Hukum Proses atau
Hukum Acara) ialah hukum yang memuat peraturan yang mengatur bagaimana
cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan yang
mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan
dan bagaimana caranya hakim memberi putusan.
Contoh : Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata.
6) Menurut "sifatnya" hukum dibagi dalam :
Hukum yang memaksa ialah hukum
yang dalam keadaan bagaimana harus dan mempunyai paksaan mutlak.
Hukum yang mengatur (pelengkap)
ialah hukum yang dapat dikesampingkan, apabila pihak yang bersangkutan telah
membuat peraturan sendiri dalam perjanjian.
7) Menurut "wujudnya" hukum dibagi dalam :
Hukum Obyektif ialah hukum dalam
suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu.
Hukum Subyektif ialah hukum yang
timbul dari hubungan obyektif dan berlaku terhadap seseorang tertentu atau
lebih. Kedua jenis hukum ini jarang digunakan.
8) Menurut "isinya- hukum dibagi dalam :
Hukum Privat (Hukum Sipil) ialah
hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya, dan
menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
Hukum Publik (Hukum Negara) ialah
hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alit perlengkapan atau negara
dengan warganegaranya.
Negara sebagai organisasi dalam
suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan
dan warganegaranya, serta menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana
kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh warga negara,
golongan atau oleh negara sendiri. Oleh karena itu negara mempunyai dua tugas
pokok :
1) Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan
asosial, artinya bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme
yang membahayakan.
2) Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan¬golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruh
atau tujuan sosial.
Pengendalian ini dilakukan
berdasarkan sistem hukum dan dengan perantara pemerintah beserta
lembaga-lembaganya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang teratur dan
paling kuat, oleh karena itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan
kekuasaan harus dapat menetapkan diri dalam rangka ini. Pentingnya sistem hukum
ini sebagai perlindungan, bagi kepentingan¬kepentingan yang telah melindungi
kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah
tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan perlindungan kepentingan orang
dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindunginya mengingat
terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Bahkan berarti kepentingan
warga masyarakat tidak terpenuhi oleh kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan,
tetapi tidak cukup terlindungi atau terjamin. Sebab mungkin saja terlaksana
dengan kaidah tersebut, untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah
dilindungi kaidah-kaidah tadi perlu sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat disebut hukum positif. Istilah
hukum positif dimaksudkan untuk menandai "differentie" dan hukum
terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat, tampil lebih jelas, tegas dan
didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti anggota masyarakat. Sebagai
atribut positif ini adalah: Pertama, bukanlah kaidah sosial yang mengambang
atau tidak jelas bentuk dan tujuannya. Sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang
bertujuan merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum. Kedua,
dibutuhkan staf (personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti posisi,
kejaksaan dan pengadilan.
Sifat dan peraturan hukum
tersebut adalah memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam, pengertian
memaksa bukanlah senantiasa dipaksakan apabila tindakan sewenang-wenang. Sebab
hukum itu sebagai kongkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal yaitu : Sistem norma, sebagai
sistem kontrol dan sebagai sistem engineering (pemegang kekuasaan memelopori
proses pengkaidahannya). Sehingga hukum diartikan sebagai serumpunan peraturan
yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat.
Hukum tidak lain hanyalah
merupakan sarana bagi pemerintah atas tangan¬tangan yang berkuasa untuk
mengerahkan cara berpikir dan bertindak dalam rangka kebijakan tujuan nasional.
Dalam kediriannya secara intern tidak ada sangkut-paut dengan
"kaidah" dan "kebenaran" dalam makna dan hakiki yang
sebenarnya, dalam rangka konseptualisasi hukum selalu berpihak, selalu berwarna
dan memang yang terpancangdalam kamus hukum hanya dirasakan dan dialami,
bermakna dan berwujud relatif serta karakter dari sosial, budaya, struktural
dan agama sekalipun.
Agar masyarakat siap memakai
hukum positif, perlu mempelajari manajemen hukum dan kultur hukum. Sebab sistem
hukum terurai dalam tiga komponen yaitu : (1) Substansi, (2) Struktur dan (3) Kultur.
Manajemen hukum memikirkan bagaimana mendayagunakan sumber daya dalam
masyarakat untuk mengatur masyarakat melalui hukum. Kultur hukum adalah nilai
dan sikap dalam masyarakat mengenai hukum.
Untuk menganalisa lebih tajam apa
sebenarnya hukum, maknanya, peranannya, dampaknya dalam proses interaksi dalam
masyarakat, perlu dipelajari 10 aspek penganalisa yaitu :
1) Jangan mengindentifikasikan "hukum" dengan
"kebenaran keadilan".
2) Tidak dengan sendirinya harus adil dan benar.
3) Hukum tetap mengabdikan diri untuk menjamin kegiatan masa
sistem dan bentuk pemerintahan.
4) Meskipun mengandung unsur keadilan atau kebaikan tidak
selamanya disambut dengan tangan terbuka.
5) Hukum dapat diidentifikasikan dengan kekuatan atas
kekuasaan.
6) Macam-macam hukum terlalu dipukulratakan.
7) Jangan apriori bahwa hukum adat lebih baik dari hukum
tertulis.
8) Jangan mencampur-adukkan substansi hukum dengan cara atau
proses sampai terbentuk dasar diundangkannya hukum.
9) Jangan mencampur-adukkan "law in activis"
dengan "law in books" dan aparat penegak hukum.
10) Jangan menganggap sama aspek terjang penegak hukum dengan
hukum.
Oleh karena itu hukum tidak dapat
dipahami tanpa memperhatikan faktor sosial budaya dan struktur negara, dan
masyarakat tidak mungkin bermakna dan berada L. .ipa hukum, mulai bayi sampai
dewasa, menikah dan meinggal
dunia perlu ketentuan
perundang-undangan yang mengaturnya, bahkan "masuk surga" sekalipun.
Bagi masyarakat modern atau
masyarakat primitif, hukum akan selalu berfungsi, sebab hukum dapat diartikan
sebagai hukum tertulis dan tidak tertulis. Tidak tertulisnya hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan tidak mengurangi keberadaan dan kehadiran hukum.
Hanya bentuk, perwujudan dan penampilannya yang tidak dapat dibayangkan seperti
pada masyarakat sekarang.
Apakah hukum itu dalam embrionya
bertumbuh dari cara (usage) menuju ke kebiasaan (folk-ways), terus ke kelakuan
(costum), untuk kemudian ke hukum adat, dan entah dari tahap mana dan kapan
hukum tertulis menampakkan diri. Dalam menganalisa adanya pencampur-adukan
menganalisir hukum sampai diungkapkannya hukum, perlu dimiliki pengetahuan
sosial, budaya dan struktur masyarakat Indonesia serta melepaskan diri dari
prasangka atau praduga tak bersalah.
Dalam pemahaman sosiologis,
hadirnya hukum adalah untuk diikuti atau dilanggar. Tetapi ada perilaku yang
tidak sepenuhnya digolongkan kepada mematuhi hukum atau melanggar hukum yaitu
penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial lebih luas daripada pelanggaran hukum,
yaitu perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah yang ada sebagai unsur yang
membentuk tatanan sosial. Penyimpangan sosial tidak segera mempunyai arti
pelanggaran hukum, dapat pula mengandung arti suatu penafsiran terhadap kaidah
hukum yang formal. Hukum sebagai kerangka luar, lebih banyak memuat stereotip
perbuatan daripada diskripsi mengenai perbuatan itu sendiri; akan berhadapan
dengan tatanan di dalam daripada kehidupan sosial yang lebih substansial
sifatnya, sehingga orang cenderung untuk memberikan penafsirannya sendiri
terhadap hukum, dan yang demikian lalu hanya berfungsi sebagai pedoman saja.
Penafsiran itu membuat hukum menjadi terang terhadap keadaan kongkrit dalam
masyarakat. Antara penyimpangan sosial dan hukum terdapat hubungan yang erat,
di mana hukum diminta bantuan untuk mencegah dan menindak terjadinya
penyimpangan. Ancaman pidana terhadap pencurian, pembunuhan, penggelapan dan
sebagainya adalah contoh-contoh dari pengangkatan perilaku sosial yang
menyimpang ke dalam hukum. Tetapi tidak semua bentuk penyimpangan sosial dapat
diangkat menjadi hukum, sebab ada persyaratan minimum etis, artinya ada ambang
batas bagi pencantumannya ke dalam hukum seperti perilaku kebenaran pada
anak-anak muda. Akhirnya, dapatlah dikatakan mudah untuk menilai hukum, perlu
waktu panjang, bertahap dan hukum ingin memanusiakan manusia itu sendiri.
B. NEGARA
Negara merupakan alat dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai
organisasi, negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan serta dapat menetapkan tujuan hidup bersama. Dengan
perkataan lain, negara mempunyai 2 tugas utama, yaitu :
1) Mengatur dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat yang bertentangan satu sama lainnya.
2) Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan
untuk menciptakan tujuan bersama yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan
negara.
Dengan demikian, sebagai
organisasi, negara mempunyai kekuasaan yang paling kuat dan teratur.
a) Sifat-sifat Negara.
Sebagai organisasi kekuasaan
tertinggi, negara mempunyai sifat khusus yang tidak melekat pada organisasi
lain. Sifat tersebut melekat pada negara karena penjelmaan (Manifestasi) dari
kedaulatan yang dimiliki. Adapun sifat tersebut adalah :
1) Sifat memaksa, artinya negara mempunyai kekuasaan untuk
menggunakan kekerasan fisik secara legal agar tercapai ketertiban dalam
masyarakat dan mencegah timbulnya anarkhi.
2) Sifat monopoli,artinya negara mempunyai hak kuasa tunggal
dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
3) Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan
perundang-undangan mengenai semua orang tanpa kecuali.
b) Bentuk Negara
Dari erat tidaknya serta sifat
hubungan suatu negara ke dalam maupun ke luar, dapat kita bedakan antara bentuk
negara dan bentuk kenegaraan. Disebut bentuk negara jika hubungan suatu negara
ke dalam (dengan daerah¬daerahnya) maupun ke luar (dengan negara lain)
ikatannya merupakan suatu negara. Sedang bentuk kenegaraan ialah jika hubungan
ke dalam maupun ke luarnya, ikatannya merupakan suatu negara.
Dalam teori modern sekarang ini,
bentuk negara yang terpenting adalah: Negara Kesatuan dan Negara Serikat.
1) Negara Kesatuan (Unitarisme)
Adalah suatu negara yang merdeka
dan berdaulat, di mana kekuasaan untuk mengurus seluruh permerintah dalam
negara itu berada pada Pusat.
Ada 2 macam bentuk negara
Kesatuan, yaitu :
(a) Negara Kesatuan dengan sistem
sentralisasi. Di dalam sistem ini, segala
sesuatu dalam negara langsung
diatur dan diurus Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah
Pusat memegang seluruh kekuasaan dalam negara.
Keuntungannya :
— adanya
peraturan yang sama di seluruh negara;
— penghasilan
daerah dapat digunakan untuk keperluan seluruh negara. Kerugiannya :
— menumpuknya
pekerjaan di Pemerintah Pusat; terlambatnya putusan-putusan dari Pusat;
keputusan sering tidak cocok
dengan keadaan daerah;
— rakyat
kurang mendapat kesempatan untuk turut serta dan bertanggung jawab terhadap
daerah.
(b) Negara Kesatuan dengan sistem
desentralisasi.
Di dalam sistem ini, daerah
diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Negara Serikat (negara
Federasi)
Adalah negara yang terjadi dari
penggabungan beberapa negara yang semula berdiri sendiri sebagai negara yang
merdeka, berdaulat, ke dalam suatu ikatan kerjasama yang efektif untuk
melaksankaan urusan secara bersama. Setelah menggabungkan diri, masing-masing
negara itu melepaskan sebagian kekuasaan dan menyerahkan kepada Negara
Federalnya. Kekuasaan yang diserahkan disebutkan secara satu persatu
(liminatif) dan hanya kekuasaan
yang disebut itulah yang
diserahkan. Dengan demikian, kekuasaan asli ada pada Negara Bagian. Dan
biasanya yang diserahkan adalah urusan luar negeri, pertahanan neagra dan
keuangan.
Perbedaan antara Negara Kesatuan
yang didesentralisir dengan Negara Serikat :
Negara Kesatuan yang Negara Serikat
didesentralisir
Asal usulnya :
Ada negara kesatuan dahulu Ada negara bagian terlebih
baru kemudian dibentuk daerah dahulu, baru membentuk
otonom. negara serikat.
Kewenangan membuat
UUD
Hanya ada satu pembuat
UUD yaitu Pemerintah Pusat
|
Ada 2 pembuat UUD yaitu Pemerintah Federal dan Pemerintah Negara
Bagian. Sehingga ada 2 UUD yang berlaku.
|
Sumber
wewenang
Pemerintah Pusat yang didis Pemerintah Negara Bagian
tribusikan
kepada daerah otonom yang dikontribusikan pada
Pemerintah
Federal.
Sedang bentuk kenegaraan yang
kita kenal dewasa ini ialah : (l) Negara Dominion
Bentuk ini khusus hanya terdapat
dalam lingkungan ketatanegaraan Kerajaan Inggris. Negara dominion semua adalah
jajahan Inggris, tetapi setelah merdeka tetap mengakui Raja Inggris sebagai
rajanya. Negara-negara dominion tergabung dalam suatu gabungan yang bernama
"The British Commonwealth of Nations".
(2) Negara Uni
Adalah gabungan dari 2 atau
beberapa negara yang mempunyai seorang Kepala negara.
Ada dua negara Uni, yaitu :
— Uni
Riil, ialah apabila dua atau beberapa negara berdasarkan suatu perjanjian,
mengadakan satu alat pemerintahan untuk menyelenggarakan kepentingan bersama;
— Uni
Personil, ialah apabila dua atau beberapa negara secara kebetulan mempunyai
seorang Kepala Negara yang sama.
(3) Negara Protektorat
Ialah suatu negara yang berada di
bawah perlindungan negara lain. Perlindungan ini umumnya adalah turut campurnya
negara pelindung dalam urusan Luar negeri.
c) Unsur-unsur Negara
Untuk dapat dikatakan sebagai
suatu negara, negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(1) harus ada wilayahnya
(2) harus ada rakyatnya
(3) harus ada pemerintahnya
(4) harus ada tujuannya
(5) mempunyai kedaulatan. Ad.l. Harus ada wilayahnya
Setiap negara mesti mempunyai
suatu wilayah tertentu. Wilayah ini terdiri dari wilayah daratan, wilayah
perairan (yang ditentukan dengan perjanjian) dan wilayah udara (di atas darat
dan lautan).
Batas-batas wilayah suatu negara
ditentukan dalam perjanjian dengan negara lain. Perjanjian itu disebut
Perjanjian Antar negara (Internasional). Apabila dilakukan antara dua negara
disebut PerjanjianBilateral, dan apabila dilakukan oleh banyak negara disebut
Perjanjian Multilateral.
Ad.2. Harus ada rakyatnya
Yang termasuk suatu negara adalah
semua orang yang ada di dalam wilayah negara. Dengan demikian rakyat suatu
negara dapat terdiri dari berbagai macam golongan. Namun demikian, setiap orang
yang ada dalam wilayah negara itu harus patuh kepada hukum dan Pemerintah
Negara tersebut.
Tentang rakyat ini akan diuraikan
tersendiri dalam uraian warganegara.
Ad.3. Harus ada pemerintahnya
Sebagai suatu organisasi, maka
negara harus mempunyai badan yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan
serta melaksanakan peraturan yang mengikat warganya, yang disebut Pemerintah.
Tentang Pemerintah ini
selanjutnya akan diuraikan tersendiri.
Ad.4. Harus ada tujuannya
Bahwasanya negara itu mempunyai
tujuan adalah merupakan hal yang jelas, bahkan tujuan negara itu merupakan
suatu hal yang sangat penting, karena segala sesuatu dalam negara itu akan
diarahkan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan tersebut. Atau dapat pula
dikatakan bahwa negara itu merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
bersama dari anggota¬anggotanya.
Adapun tujuan negara itu
bermacam-macam di antaranya adalah untuk :
(a) Perluasan kekuasaan semata
Negara yang mempunyai tujuan
perluasan kekuasaan semata disebut Negara Kekuasaan.
Ajaran ini memberikan suatu
anggapan bahwa kekuasaan itu berarti kebenaran. Di dalam mencapai tujuan ini,
maka negara dan rakyat dipisahkan dengan tegas. Rakyat hanya merupakan alat dan
menjadi korban belaka.
Tokohnya : Machiavelli dan Shang
Yang.
(b) Perluasan kekuasaan untuk mencapai tujuan lain
Tujuan lain dari perluasan
kekuasaan adalah untuk mengatur keamanan dan ketertiban negara.
Walaupun nanti dalam prakteknya
keadaan negara tidak berbeda dengan Negara Kekuasaan. Dengan perluasan
kekuasaan negara, maka kebebasan dan kemerdekaan rakyat menjadi terbatas. Hal
ini karena semua lapangan kehidupan diawali, dijaga dan dicampuri oleh
alat-alat kekuasaan negara. Sehingga negara dengan tujuan ini disebut juga
Negara Kepolisian.
(c) Penyelenggaraan ketertiban hukum
Di sini negara mempunyai tujuan
ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum. Dalam hal ini
pemerintah hanya menjaga jangan sampai ketertiban itu terganggu, dan agar
segala sesuatunya berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu
negara ini disebut Negara Hukum.
(d) Penyelenggaraan Kesejahteraan Umum
Walaupun kalau kita lihat, tujuan
negara hukum adalah juga untuk kesejahteraan umum, tetapi negara yang bertujuan
menyelenggarakan kesejahteraan umum yang disebut Negara
Kesejahteraan (Welfare State) ini
ternyata lebih tegas merumuskan daripada negara hukum.
Dalam negara kesejahteraan,
negara hanyalah merupakan alat dari manusia untuk mencapai tujuan bersama.
Tujuan Negara Republik Indonesia
Walaupun ada beberapa teori
tujuan negara, namun yang menjadi tujuan dari Pemerintah Negara Republik
Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 aliena 4 :
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia
yang leindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan ...".
(a) Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, berarti bahwa Negara
Indonesia tidak mengadakan
pembedaan terhadap suku, agama, ras dan
golongan dalam membawa rakyatnya
ke arah tujuan yang dicita-citakan.
(b) Memajukan kesejahteraan umum
Ini berarti bahwa negara Republik
Indonesia menghendaki agar semua warga dapat mengenyam kesejahteraan, bukan
hanya dinikmati oleh beberapa orang atau segolongan orang tertentu saja.
(c) Mencerdaskan kehidupan bangsa
Kemajuan dunia dewasa ini
menyadarkan usaha Pemerintah Indonesia
untuk lebih mempergiat usaha
dalam lapangan pendidikan.
(d) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Sejak Indonesia mencapai kemerdekaannya,
maka tidak henti-hentinya Pemerintah dan bangsa Indonesia membantu perjuangan
bangsa-bangsa yang dijajah. Di samping itu juga turut berusaha dengan aktif
meredakan ketegangan dunia yang mengancam ketertiban dan perdamaian.
Ad.5. Mempunyai kedaulatan/kemerdekaan
Kedaulatan merupakan unsur
penting dalam suatu negara, karena kedaulatan ini yang akan membedakan
organisasi negara dan organisasi/ perkumpulan lainnya.
Kedaulatan berarti kekuasaan
tertinggi. Oleh karena itu negara mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa
rakyatnya mentaati dan melaksanakan peraturan-peraturannya (kedaulatan ke
dalam).
Di samping itu, negara juga harus
mempertahankan kemerdekaannya yang telah dimiliki serta mempertahankan
kedaulatan ke luar (external sovereighnity). Untuk itu negara menuntut
kesetiaan yang mutlak dari warganya.
(a) Sifat-sifat Kedaulatan
(1) Permanen
Artinya walau badan yang memegang
kedaulatan itu berganti, kedaulatan negara masih tetap ada. Kedaulatan hanya
akan lenyap bersama dengan lenyapnya negara.
(2) Absolut
Artinya di dalam negara tidak ada
kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan negara.
(3) Tidak terbagi-bagi
Walaupun kekuasaan pemerintah
memang dapat dibagi-bagi, tetapi kekuasaan tertinggi dari negara tetap tidak
dapat dibagi-bagi.
(4) Tidak terbatas
Berarti kedaulatan suatu negara
itu meliputi setiap orang dan setiap golongan yang ada dalam suatu negara tanpa
terkecuali.
(b) Sumber Kedaulatan
(1) Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini segala sesuatu
yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan, maka terbentuknya negara pun atas
kehendak Tuhan. Oleh karena itu Pemerintah wajib menggunakan kedaulatan
tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan.
(2) Teori Kedaulatan Rakyat
Teori ini menyatakan bahwa negara
terbentuk karena sekelompok manusia yang semula hidup sendiri-sendiri dan
mengadakan perjanjian untuk membentuk suatu badan yang diserahi kekuasaan
menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat. Jadi bila masyarakat tunduk kepada
Pemerintah, sebenarnya masyarakat tunduk kepada kemauannya sendiri/kemauan
umum. Dengan kata lain, Pemerintah diberi kekuasaan oleh rakyat yang berdaulat
itu, dan Pemerintah melakukan itu atas nama rakyat.
Tokoh : Rousseau, John Locke,
Montesquieu.
(3) Teori Kedaulatan Negara
Teori ini mengatakan bahwa negara
terjadi karena kodrat alam, demikian pula kekuasaan yang ada. Karena itu
kedaulatan dianggap ada sejak adanya/lahirnya negara.
Sehingga, negaralah yang dianggap
sumber kedaulatan. Hukum ada karena dikehendaki negara, oleh karena itu negara
tidak dapat dibatasi hukum karena hukum adalah hasil buatan negara sendiri.
Tokoh : Jellineck, Paul Laband.
(4) Teori Kedaulatan Hukum
Teori ini merupakan kebalikan
teori kedaulatan negara. Teori ini
menganggap bahwa kedudukan dan
martabat hukum lebih tinggi dari
negara. Dengan demikian hukumlah
yang berdaulat. Karena arti hukum tidak hanya terbatas pada peraturan-peraturan
tertulis raja, tetapi juga segala kebiasaan yang ditaati masyarakat.
Sampai sekarang tidak ada
kesepakatan di antara para ahli sendiri tentang apa arti sebenarnya daripada
hukum. Hal ini dapat dimengerti, bila disadari betapa luasnya lingkup hukum,
yang meliputi semua bidang kehidupan masyarakat. Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto mencoba menghimpun berbagai pengertian yang dibenarkan oleh
masyarakat terhadap hukum, dengan basil sebagai berikut :
1) Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang
tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2) Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang
kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3) Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap
tindak atau perilakuan yang pantas atau diharapkan.
4) Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses
perangkat kaidah¬kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu
serta berbentuk tertulis.
5) Hukum sebagai petugas, yakni priibadi-priibadi yang
merupakan kalangan yang berhubugnan erat dengan penegakan hukum
(law-enforcement of¬ficer).
6) Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses
diskresi yang menyangkut "... decision-making not strictly governd by
legal rules, but rather with significant element of personal judgement"
(Wayne Laa Favre, 1964) oleh karena itu yang dimaksudkan dengan diskreksi
adalah "au¬thority conferred by law to act in certain conditions
situations in accord¬ance on afficial's or an agency's own conside red
judgement and con¬science. it is an ide of morals, belong in to the twilight
zone between law and morals (Rescoe Pounds, 1960).
7) Hukum sebagai proses pemerintah, yaitu proses sehubungan
timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan. Artinya, hukum
dianggap sebagai "a command or prohibition emanating from the authorized
agency of the state... and backed up by the authority and the capacity to
exercise force which is characteristic of the state (Henry Pratt, et.al.,
1976). Dengan demikian yang dimaksudkan dengan hukum adalah" the
normative
live of a state and its citizens,
such as legislation, litigation, and adjudi¬cation (Donald Black, 1976).
8) Hukum sebagai sikap - tindak konsisten atau perikelakuan
yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari
konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan
Mitchell: 1977).
Pentingnya mengadakan
identifikasi terhadap pelbagai arti hukum adalah untuk mencegah terjadinya
kesimpangsiuran di dalam melakukan studi terhadap hukum, maupun di dalam
penerapannya.
Lagi pula arti hukum pada suatu
kurun waktu tertentu tidak akan lepas; dari pemikiran-pemikiran lain yang hidup
pada zaman tersebut. Terutama sekali, hukum mempunyai hubungan yang erat dengan
negara, sehingga setiap telaah terhadap negara akan ikut menentukan tentang apa
yang dimaksud dengan hukum. Sedangkan pandangan terhadap hukum dan negara
berkaitan erat dengan pemikiran tentang semua gejala yang ada, yaitu suatu
sistem filsafat tertentu.
Pendapat para sarjana mengenai
hubungan antara negara dan hukum pada garis besarnya dapat disederhanakan dalam
tiga pendapat :
a) bahwa negara lebih tinggi daripada hukum, ini merupakan
pandangan yang bersumber pada teori absolutisme negara;
b) negara, sebenarnya adalah identik atau sama dengan hukum,
ini adalah pandangan yang menolak setiap dualisme antara negara dan hukum, dan
c) negara harus tunduk pada hukum, pendapat ini dikemukakan
oleh penganut teori kedaulatan hukum
Salah seorang di antara
berpendapat bahwa negara mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum
adalah Puchta, murid seorang pemikir terkenal di bidang hukum yang bernama
Friedrick Von Savigny. Savigny berpendapat bahwa hukum tumbuh bersama pertumbuhan
bangsa (rakyat), menjadi kuaX bersama dengan kekuatan bangsa dan akhirnya mati
(punah) ketika suatu bangsa kehilangan kebangsaan.1 Puchta menerima pendapat
gurunya bahwa hukum bersumber dari jiwa bangsa (volkgeist). Lebih jauh lagi
Puchta berpendapat bahwa hukum timbul dari jiwa bangsa secara langsung dalam
pelaksanaannya (dalam adat-istiadat orang-orang); secara tidak langsung hukum
timbul dari jiwa bangsa melalui undang-undang (yang dibentuk oleh
negara) dan melalui ilmu
pengetahuan hukum (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan
hukum (yang merupakan karya ahli-ahli hukum). Keyakinan hukum yang hidup jiwa
bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam
negara. Bahkan adat-istiadat bangsa maupun hasil pemikiran ahli-ahli hukum
hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Teori inilah yang
sebenarnya berakar dari teori absolutisme negara dan positivisme yuridis.2
Pandangan Puchta ini senada dengan pendapat Theodor Geiger, yang menelaah hukum
melalui teori-teori sosiologi. Geiger berpendapat bahkan satu-satunya hukum
yang berlaku adalah hukum yang berasal dari negara.
Hans Kelsen, yang mencoba untuk
menyusun suatu teori murni tentang hukum, menolak pandangan dualisme terhadap
negara dan hukum. Menurut pendapatnya hukum dan negara adalah identik, karena
negara tidak lain daripada sistem sikap tindak manusia dan ketaatan dari
paksaan sosial. Ketaatan pemaksa ini tidak beda dengan tata hukum, karena dalam
masyarakat hanya ada satu, dan bukan dua ketaatan pemaksa yang sah pada satu
waktu. Jadi negara tidak lebih tinggi daripada hukum, karena bila demikian
berarti pendewaan terhadap negara dan hukum tidak lebih tinggi dari negara,
seperti pendapat penganut aliran hukum alam yang ditentang oleh Kelsen.
Di atas sudah diuraikan bahwa
Krabbe berpendapat, rakyat mentaati peraturan negara bukan karena paksaan (oleh
kekuasaan) negara, tetapi karena mereka memiliki kesadaran hukum. Kesadaran
hukum rakyatlah yang merupakan sumber kekuasaan negara. Dengan demikian negara
bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi karena negara pun harus juga tunduk
kepada hukum. Jadi dalam menjalankan kebijaksanaan, negara terikat pada
norma¬norma keadilan. Teori kedaulatan hukum inilah yang menjiwai prinsip
negara hukum. Negara hukum dalam arti sempit, yakni negara hukum liberal,
ditandai dengan dua ciri :
1) Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2) Pemisahan kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Negara hukum dalam arti formal,
lebih luas daripada negara hukum liberal, mengandung empat unsur sebagai
berikut :
1) Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2) Pemisahan kekuasaan;
3) Setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada
undang-undang;
4) Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri, untuk
aparat pemerintah yang melanggar Batas-batas kewenangannya.
A.V. Dicey juga mengembangkan
teori kedaulatan hukum di Inggris yang sedikit berbeda dengan prinsip negara
hukum yang berkembang di Eropa Kontinental. Menurut sistem Anglo Saxon, dikenal
the rule of law yang memiliki tiga unsur :
1) Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai
kekuasaan tertinggi dalam negara hukum (kedahulatan hukum);
2) Persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap orang;
3) Konstitusi bukan merupakan (satu-satunya) sumber bagi
hak-hak asasi manusia. Jika hak-hak asasi manusia dirumuskan dalam konstitusi,
hal ini hanya sebagai penegasan bahkan hak asasi tersebut harus dilindungi.
C. PEMERINTAH
Pemerintah merupakan salah satu
unsur penting daripada negara. Tanpa Pemerintah, maka negara tidak ada yang
mengatur. Karena Pemerintah merupakan roda negara, maka tidak akan mungkin ada
suatu negara tanpa Pemerintah.
Dalam pengertian umum sering
dicampuradukkan pengertian Pemerintah dan pemerintahan, seakan-akan keduanya
adalah sama. Padahal jelas keduanya berbeda.
Untuk membedakan kedua istilah
tersebut, maka istilah tersebut harus kita bedakan dalam arti luas dan dalam
arti sempit.
Pemerintahan dalam arti luas :
— Segala
kegiatan atau usaha yang terorganisir, bersumber pada kedaulatan dan
berlandaskan dasar negara, mengenai rakyat/penduduk dan wilayah (negara itu)
demi tercapainya tujuan negara.
— Segala
tugas, kewenangan, kewajiban negara yang harus dilaksanakan menurut dasar-dasar
tertentu (suatu negara) demi tercapainya tujuan negara.
Kalau kita mengikuti pemisahan
kekuasaan Montesquieu, maka meliputi bidang legislatif, eksekutif, yudikatif.
Kalau kita mengikuti Vollenhoven maka meliputi bidang wetgeving, rechtspraak,
politie, bestuur.
Pemerintahan dalam arti sempit
— Kalau
kita mengikuti Montesquieu, maka hanyalah tugas, kewajiban dan kekuasaan negara
di bidang eksekutif.
— Kalau kita mengikuti
Vollenhoven, kekuasaan negara di bidang bestuur.
Mengikuti pengertian pemerintahan
dalam arti luas dan sempit tersebut, maka :
Pemerintah dalam arti luas :
Adalah menunjuk kepada alat
perlengkapan negara seluruhnya (aparatur negara) sebagai badan yang
melaksanakan seluruh tugas/kekuasaan negara atau melaksanakan pemerintahan
dalam arti luas.
Pemerintah dalam arti sempit :
Adalah hanya menunjuk kepada alat
perlengkapan negara yang melaksanakan pemerintahan dalam arti sempit.
Di dalam penjelasan UUD 1945
disebutkan dengan tegas, bahwa Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang
tertingi di bawah Majelis (MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi). Hal ini
berarti bahwa Presiden bertanggung jawab dan berkuasa menjalankan pemerintahan
negara. Untuk itu Presiden menunjuk para Menteri sebagai pembantunya. Para
menteri ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik
negara mengenai departemennya. Presiden dan para Menteri inilah Pemerintah alam
arti sempit.
Walaupun demikian, teori
Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan ini tidak sepenuhnya dianut di
Indonesia. Karena teori ini mengajarkan bahwa masing-masing bidang kekuasaan
ini berdiri sendiri-sendiri dan tidak mencampuri urusan bidang lainnya.
Sedangkan menurut UUD 1945, Indone¬sia menganut sistem pembagian kekuasaan
(bukan pemisahan), sehingga dapat terjadi satu bidang tugas dilakukan oleh
lebih dari satu alat perlengkapan negara. Atau sebaliknya, satu alat
perlengkapan negara melaksanakan lebih dari satu bidang tugas.
2. WARGANEGARA DAN NEGARA
Unsur penting suatu negara yang
lain adalah rakyat. Tanpa rakyat, maka negara itu hanya ada dalam angan-angan.
Termasuk rakyat suatu negara adalah meliputi semua orang yang bertempat tinggal
di dalam wilayah kekuasaan
negara tersebut dan tunduk pada
kekuasaan negara tersebut. Dalam hubungan ini rakyat diartikan sebagai kumpulan
manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persatuan dan yang bersama-sama
mendiami suatu wilayah tertentu.
Menurut Kansil, orang-orang yang
berada dalam wilayah suatu negara itu dapat dibedakan menjadi :
a. Penduduk ialah mereka yang
telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara
yang bersangkutan, diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok (domisili)
dalam wilayah negara itu.
Penduduk ini dapat dibedakan
menjadi 2 lagi, yaitu :
1) Penduduk Warga Negara atau Warga negara adalah penduduk
yang sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah negara tersebut dan mengakui
Pemerintahnya sendiri;
2) Penduduk bukan Warga negara atau Orang Asing adalah
penduduk yang bukan warga negara.
b. Bukan Penduduk ialah mereka
yang berada dalam wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak
bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.
1) Asas Kewarganegaraan
Adapun untuk menentukan
siapa-siapa yang menjadi warganegara, digunakan 2 kriteria, yaitu :
(1) Kriterium kelahiran.
Berdasarkan kriterium ini, masih dibedakan lagi menjadi 2, yaitu :
(a) Kriterium kelahiran menurut asas keibubapaan atau disebut
pula "Ius Sanguinis". Di dalam asas ini, seorang memperoleh
kewarganegaraan suatu negara berdasarkan asas kewarganegaraan orang tuanya, di
manapun is dilahirkan.
(b) Kriterium kelahiran menurut asas tempat kelahiran atau
"Ius Soli". Di dalam asas ini, seseorang memperoleh
kewarganegaraannya berdasarkan negara tempat di mana dia dilahirkan, meskipun
orang tuanya bukan warga negara dari negara tersebut.
Kedua prinsip kewarganegaraan ini
digunakan secara bersama dengan
mengutamakan salah satu, tetapi
tanpa meniadakan yang satu. Konflik
antara Ius Soli dan Ius Sanguinis
akan menyebabkan terjadinya kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau tidak
mempunyai kewarganegaraan sama sekali (a-patride).
Berhubung denganitu, maka untuk
menentukan kewarganegaraan seseorang digunakan 2 stelsel kewarganegaraan (di
samping kedua asas di atas) yaitu stelsel aktif dan stelsel pasif.
Pelaksanaan kedua stelsel ini
kita bedakan dalam
- hak
opsi, yaitu hak untuk memilih kewarganegaraan (pelaksanaan
stelsel aktif);
- hak
repudiasi, ialah hak untuk menolak kewarganegaraan
(pelaksanaan stelsel pasif).
(2) Naturalisasi atau
pewarganegaraan, adalah suatu proses hukum yang menyebabkan seseorang dengan
syarat-syarat tertentu mempunyai kewarganegaraan negara lain.
Di Indonesia, siapa-siapa yang
menjadi warganegara telah disebutkan di dalam pasal 26 UUD 1945, yaitu :
(1) Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan
undanng¬undanng.
Pelaksanaan selanjutnya dari
pasal 26 UUD 1945 ini diatur dalam UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang pasal 1-nya menyebutkan :
Warga negara Republik Indonesia
ialah :
a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau
perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak
proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warga negara Republik Indonesia.
b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya, seforang warga negara RI, dengan pengertian bahwa
kewarganegaraan karena RI tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum
kekeluargaan ini diadakan
sebelum orang itu berumur 18
tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah umur 18 tahun.
c. Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal
dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga negara RI.
d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara RI,
apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan
ayahnya.
e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara RI,
jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama tidak diketahui
kewarganegaraan ayahnya.
f. Orang yang lahir di dalam wilayah RI selama kedua orang
tuanya tidak diketahui.
g. Seseorang yang diketemukan di dalam wilayah RI selama tidak
diketahui kedua orang tuanya.
h. Orang yang lahir di dalam wilayah RI, jika kedua orang
tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang
tuanya tidak diketahui.
i. Orang yang lahir di dalam wilayah RI yang pada waktu
lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak
mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu.
Orang yang mempunyai
kewarganegaraan RI menurut aturan undang-undang ini.
Selanjutnya di dalam Penjelasan
Umum UU No.62 tahun 1958 ini
dikatakan bahwa kewarganegaraan
RI diperoleh :
a. karena kelahiran
b. karena pengangkatan
c. karena dikabulkan permohonan
d. karena pewarganegaraan
e. karena atau sebagai akibat dari perkawinan
f. karena turut ayah/ibunya
g. karena pernyataan.
Selanjutnya di dalam Penjelasan
Pasal 1 UU Nomor 62 tahun 1958 disebutkan :
b,c,d dan e. :
Sudah selayaknya keturunan warga
negara RI adalah WNI. Sebagaimana telah diterangkan di atas dalam Bab I huruf a
yang menentukan status anak ialah ayahnya. Apabila tidak ada hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya atau apabila ayah tidak mempunyai kewarganegaraan
ataupun selama tidak diketahui kewarganegaraannya, maka barulah ibunya yang
menentukan status anak itu.
Hubungan hukum kekeluargaan
antara ibu dan anak selalu ada ; kalau ayahnya mengadakan hukum secara yuridis.
Anak baru turut kewarganegaraan ayahnya, setelah ayah itu mengadakan hubungan
hukum kekeluargaan dan apabila hubungan hukum itu diadakan setelah anak itu
menjadi dewasa, maka is tidak turut kewarganegaraan ayahnya.
f,g dan h.
Menjalankan ius soli supaya
orang-orang yang lahir di Indonesia tidak ada yang tanpa kewarganegaraan.
2) Hak dan Kewajiban Warga Negara
Indonesia
Apabila kita melihat pasal-pasal
dalam UUD 1945, maka akan dapat kita temukan beberapa ketentuan tentang hak-hak
warga negara, misalnya, pendidikan, pertahanan dan kesejahteraan sosial.
Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Tiap-tiap warga negara berhak
ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran.
Selain pasal-pasal yang
menyebutkan hak warga negara maka terdapat pula beberapa pasal yang menyebutkan
tentang kemerdekaan warga negara :
Pasal 27 (1) : Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan (hak memilih dan
dipilih).
Pasal 29 (2) : Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (hak untuk beragama dan
beribadat menurut kepercayaan masing-masing, selama agama dan kepercayaan itu
diakui Pemerintah).
Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. (hak bersama dan mengeluarkan
pendapat).
Di samping itu dua ketentuan
dengan tegas menyebutkan tentang kewajiban warga negara :
Pasal 27 (1) : Segala warga
negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 30 (1) : Tiap-tiap warga
negara wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Pembedaan penduduk suatu negara
menjadi warga negara dan orang asing tersebut, pada hakikatnya adalah untuk
membedakan "hak dan kewajiban"nya saja.
Orang asing di Indonesia tidak
mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana warga negara Indonesia. Mereka tidak
mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, hak dan kewajibanmempertahankan dan
membela negara, namun mereka mempunyai kewajiban untuk tunduk dan patuh pada
peraturan, dan berhak mendapatkan perlindungan atas din dan harta bendanya.
Walaupun hak dan kewajiban warga
negara di dalam UUD 1945 hanya dirumuskan dalam beberapa pasal saja, namun
semuanya telah disebut di atas hal-hal yang pokok. Ini sesuai dengan sifat UUD
1945 yang hanya mengatur hal-hal yang pokok saja.
Karena UUD 1945 hanya mengatur
hal-hal yang pokok, maka untuk pelaksanaan selanjutnya harus ada undang-undang
yang akan menentukan lebih jauh, bagaimana hak-hak dan kewajiban tersebut di
atas harus dilaksanakan. Tanpa adanya undang-undang semacam ini, maka ketentuan¬ketentuan
yang ada pada pembukaan, batang tubuh maupun penjelasan UUD 1945 akan
kehilangan artinya dan hanya tinggal merupakan rangkaian huruf¬huruf mati saja.
Sebagai contoh pasal 28 mengatur
tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dengan
tulisan dan lisan. Ketiga hak ini adalah suatu negara demokrasi. Kebebasan
berserikat tidak akan ada artinya bila tidak ada hak untuk mengeluarkan
pendapat. Dalam UUD sendiri telah disebutkan bahwa hal tersebut harus diatur
lebih lanjut dengan undang-undang. Sebagai pelaksanaan hak atas kebebasan
berserikat, pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah
menyusun Undang-undang Nomor 3 tahun 1975. Sedangkan kebebasan-kebebasan lain
yang juga diatur pada pasal 23 sampai sekarang belum diatur lebih jauh,
sehingga sering menimbulkan berbagai penafsiran. Kebebasan berserikat tersebut
terutama adalah kebebasan untuk mendirikan partai politik. Pengakuan terhadap
partai tersebut oleh pemerintah tidak boleh sama sekali dikaitkan dengan
program partai tersebut apakah mendukung program pemerintah atau tidak. Jadi
suatu partai politik bebas untuk menentukan sikapnya, apakah akan menjadi
pendukung setia atau akan beroposisi terhadap Pemerintah.
Kebebasan ini berarti pula bahwa
pemerintah sama sekali tidak memilkiki hak untuk melarang berdirinya suatu
partai politik baru, karena larangan semacam ini jelas bertentangan dengan asas
kebebasan berserikat yang dijamin oleh pasal 28 tersebut. Jadi sesuai dengan
tingkatan/hierarki perundang¬undangan, suatu undang-undang isinya tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang Dasar yang kedudukannya lebih tinggi, dan
menjadi sumberbagi undang-undang tersebut. Tentu saja ada pembatasan bahwa
partai yang didirikan harus tidak bertentangan dengan nilai demokrasi yang
justru terkandung dalam pasal 28 UUD 1945.
Pasal 27 ayat 1 menetapkan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Ini berarti bahwa
tidak ada warga negara yang memiliki hak lebih banyak atau lebih sedikit
daripada warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Karena itu pemerintah berkewajiban untuk menyediakan lapangan kerja baru dengan
syarat-syarat yang sesuai dengan kemanusiaan.
Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
"Penduduk" yang dimaksud di sini adalah siapa saja yang berdomisili
di wilayah Indonesia, baik is warga negara ataupun orang asing. Tentu saja
pasal ini harus dihubungkan dengan ayat satunya, sehingga kebebasan tersebut adalah
dalam hubungannya dengan agama yang mempercayai keesaan Tuhan.
Begitu pula pasal 31, 32, 33 dan
34 menjamin hak-hak terhadap pengajaran, perlindungan kultural, ekonomi dan
kesejahteraan sosial.
Jadi meskipun ketentuan yang
terdapat dalam UUD 1945 tidak terlalu banyak, tetapi karena hal-hal tersebut
meliputi pokok-pokok saja yang kemudian pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan undang-undang, maka pengaturan tersebut sudah cukup memadai.
Tetapi yang lebih penting lagi
adalah apa yang dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa :
"Yang penting adalah
semangat para penyelenggara negara semangat parapemimpin pemerintahan meskipun
UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara
pemerintah baik, UUD itu tentu akan merintangi jalannya negara."
Sebaliknya, meskipun dalam UUD dicantumkan perumusan hak-hak dan kewajiban
warga negara yang sebanyak-banyaknya, hal tersebut akan menjadi sia-sia bila
penyelenggara negaranya, para pemimpin pemerintahannya memang tidak baik, dalam
arti memang tidak mempunyai itikad untuk memberi kesempatan kepada warga negara
untuk menikmati hak¬haknya maupun melaksanakan kewajibannya, meskipun
hak-haknya maupun melaksanakan kewajibannya, meskipun hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tersebut jelas sudah disebutkan dengan cukup memadai dalam