1. INTERNALISASI BELAJAR DAN
SPESIALISASI
Sebelum membicarakan
internalisasi belajar dan spesialisasi. haiklah kami kutip sebuah artikel yang
dimuat pada harian Kompas, hart Senin, tanggal 1 1 Februari 1985, sebagai
berikut :
Seminar Tentang
Rem*
ANOMI DI KALANGAN REMAJA AKIBAT KEKABURAN NORMA,
Jakarta Kompas.
ANOMI DI KALANGAN REMAJA AKIBAT KEKABURAN NORMA,
Jakarta Kompas.
Masa remaja adalah masa transisi
dan secara psikologis sangat problematic, masas ini memungkinkan mereka berada
dalam anomi (keadaan tanpa norma atau hukum, Red) akibat kontradiksi norma
maupun orientasi mendua. Dalam keadaan demikian, seringkali muncul perilaku
menyimpang atau kecenderungan melakukan pelanggaran. Kondisi ini juga
memungkinkan mereka menjadi sasaran pengaruh media massa.
Demikian rangkuman pembicaraan
Dekan F1SIP-UI Dr. Manasse Malo, Ketua Jurusan Psikologi Sosial-UI Drs. Enoch
Markum dan Staf Pengajar Jurusan Komunikasi Massa Drs. Zulkarimen Nasution
M.Sc. dalam seminar "Remaja dalam Prospek Perubahan Sosial" di Gedung
Sarwahita Komplek UI Rawamangun, hari Sabtu. Seminar situ hari itu diadakan
dalam rangka Dies Natalis Universitas Indonesia ke-36.
Anomi, menurut Enoch Markum,
muncul akibat keanekaragaman dan kekaburan norma. Misalnya norma A yang
ditanamkan dalam keluarga, sangat bertentangan dengan norma B yang is saksikan
di luar lingkungan keluarga.
Masyarakat, yang diharapkan mampu
memberi jawaban, juga berada dalam keadaan transisi, sehingga tidak mampu
memberikan apa yang diinginkan remaja.
"Dalam keadaan bingung
inilah mereka berusaha mencari pegangan norma lain yang bisa mengisi kekosongan
tersebut. Dan inilah kesempatan yang memberi peluang pada penyimpangan dan
pelanggaran akibat keaslahan pegangan", ujar Enoch Markum.
ORIENTASI MENDUA
Sedangkan mengenai orientasi
mendua, menurut Dr. Male, adalah orientasi yang bertumpu pada harapan orang tua,
masyarakat dan bangsa yang sering bertentangan dengan keterikatan serta
loyalitas terhadap peer (teman sebaya), apakah itu di lingkungan belajar
(sekolah) atau di luar sekolah.
Sementara itu Zulkarimen Nasution
mengutip pendapat ahli komunikasi J. Kapper dalam bukunya The Effect of Mass
Communication mengatakan kondisi bimbang yang dialami para remaja menyababkan
mereka melahap semua isi informasi tanpa seleksi.
Dengan demikian, mereka adalah
kelompok potensial yang mudah dipengaruhi mediamassa, apapun bentuknya.
Seminar juga menampilkan Dra.
Purnianti Mangunsong, Arif Gosita SH dan Suwarniayati Sartomo, Staf Pengajar
Jurusan Kriminologi, Dra. Louise E. Coldenhoff, Kakanwil Depdukbud DKI Jakarta
serta Suwantji Sisworahardjo SH, MDS, Staf Pengajar Jurusan Kesejahteraan
Sosial FISIP-UI.
Keadaan bimbang akibat orientasi
mendua, menurut Dr. malo juga menyebabkan remaja nekad melakukan tindak bunuh
diri. Dengan mengutip hasil penelitian Dr. Prayitno mengenai Percobaan Bunuh
Diri di Jakarta dalam hubungannya dengan diagnosis psikiatris dan faktor social
kultural terhadap 1337 kasus percobaan bunuh diri di 13 RSU Jakarta 1982/1983,
diketahui bahwa 5,6 persen remaja mencoba bunuh diri dalam kurun waktu
tersebut. Dan bila dijumlahkan dengan kategori 16-20 tahun jumlahnya menjadi 40
persen. "Hal ini antara lain akibat dari pertentangan nilai antara peer
group dengan pola asuh dan metode pendidikan", tambah Dr. malo.
Untuk mengatasi hal ini. Dr. Malo
mengemukakan beberapa alternatif. Jalan ke luar yang diambil harus memperhitungkan
peranan peer group. Pro¬gram pendidikan yang melawan arus nilai peer, besar
kemungkinannya tidak berhasil. Penggunaan waktu luang remaja juga diperhatikan,
untuk menanggulangi masalah tersebut.
Sementara Enoch Markum
berpendapat, agar orang dewasa tidak selalu menganggap setiap youth culture
adalah counter culture. Remaja harus diberi kesempatan berkembang dan
berargumentasi. "Tidak semua yang termasuk dalam youth culture
jelek", tambahnya.
Enoch Markum juga melihat
perbedaan yang berarti, antara remaja dulu dan sekarang. Ini disebabkan
munculnya fungsi-fungsi bare dalam masyarakat yang dulu tidak ada.
"Banyaknya pilihan juga menyebabkan kian kompleksnya masalah"
sambungnya lagi.
Ia hanya menawarkan dua
alternatif pemecahan masalah. Pertama mengaktifkan kembali fungsi keluarga, dan
kembali pada pendidikan agama karena hanya agama yang bisa memberikan pegangan
yang mantap. Kedua, menegakkan hukum akan berpengaruh besar bagi remaja dalam
proses pengukuhan identitas dirinya.
PERAN MEDIA MASSA
Menurut Zulkarimen Nasution,
dewasa ini tersedia banyak pilihan isi informasi.
Dengan demikian, kesan semakin
permisifnya masyarakat juga tercermin pada isi media yang beredar. Sementara
masa remaja yang merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa, ditandai beberapa ciri. Pertama, keinginan memenuhi dan menyatakan
identitas diri. Kedua, kemampuan melepas diri dari ketergantungan orang tua.
Ketiga, kebutuhan memperoleh akseptabilitas di tengah sesama remaja.
Ciri-ciri ini menyebabkan
kecenderungan remaja melahap begitu saja arus informasi yang serasidengan
selera dan keinginan mereka. Zulkarimen juga mengamati, para tetua yang tadinya
berfungsi sebagai penapis informasi atau pemberi rekomendasi terhadap
pesan-pesan yang diterima kini tidak berfungsi sebagai sediakala.
Sebagai jalan ke luar ahli
komunikasi ini melihat perlunya membekali remaja dengan keterampilan
berinformasi yang mencakup kemampuan menemukan, memilih, menggunakan dan
mengevaluasi informasi. Keterampilan ini ada baiknya disisipkan lewat pelajaran
yang ada di sekolah, sehingga secara builtin menjadi bagian yang utuh dari
keseluruhan prestasi belajar remaja di sekolah masing-masing.
Di samping itu, juga dengan
melakukan intervensi ke dalam lingkungan informasi mereka secara interpersonal.
Pemecahan lainnya adalah bimbingan orang tua dalam mengkonsumsi media massa.
Sedang para komunikator massa seharusnya tetap memegang teguh tuntunan kode
etik dan tanggung jawab sosial yang diembannya.
PERLU DIKEMBANGKAN
Arif Gosita SH yang berbicara mengenai
kecenderungan-kecenderungan relasi orang tua dan remaja (KROR) menyatakan KROR
positif merupakan faktor pendukung hubungan orang tua dan remaja yang edukatif.
Sedang yang negatif merupakan faktor yang tidak mendukung karena bersifat
destruktif dan konfrontatif.
Mengembangkan KROR yang positif,
menurut Arif Gosita bukan hal yang mudah karena harus menghadapi KROR negatif
yang terus berkembang, akibat situasi dan kondisi tertentu misalnya perubahan
sosial.
Sementara itu Suwarniayati
Sartomo berpendapat, remaja sebagai individu dan masa pancaroba mempunyai
penilaian yang belum mendalam terhadap norma, etika dan agama seperti halnya
orang dewasa. Dari penelitian yang dilakukan diketahui, pada umumnya responden
merasa tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap masalah kenakalan remaja.
Mereka menganggap tanggung jawab
mengenai masalah kenakalan remaja sepenuhnya berada di pihak yang berwajib.
Sedangkan Kakanwil Depdikbud DKI
Jakarta Drs. E. Coldenhoff melihat pengembangan sekolah sebagai masyarakat,
perlu ditangani secara konprenhensif dan terpadu. Ia juga berpendapat, jalur
kurikuler dan ekstrakurikuler pada hakikatnya saling menunjang dalam
pembentukan kepribadian dan pengarahan pada remaja.
Dari artikel di atas dapat
disimpulkan bahwa masalah kepemudaan dapat ditinjau dari 2 asumsi yaitu :
1) Penghayatan mengenai proses
perkembangan bukan sebagai suatu kontinum yang sambung menyambung tetapi
fragmentaris, terpecah-pecah, dan setiap fragmen mempunyai artinya
sendiri-sendiri. Pemuda dibedakan dari anak dan orang tua dan masing-masing
fragmen itu mewakili nilai sendiri.
Oleh sebab itu, arti setiap masa
perkembangan hanya dapat dimengerti dan dinilai dari masa itu sendiri. Masa
kanak-kanak hanya dapat diresapi karena keanakannya masa pemuda karena
sifat-sifatnya yang khas pemuda, clan masa orang tua yang diidentikkan dengan
stabilitas hidup dan kemapanan.
Tidak mengherankan kalau
romantisme akan tumbuh subur dalam pendekatan ini. Karena "mahkota
hidup" adalah masa tua yang disamakan dengan hidup bermasyarakat, maka
tingkah liku anak dan pemuda tidak lebih dari riak-riak kecil yang tidak
berarti dalam gelombang perjalanan hidup manusia.
Dinamika pemuda tidak lebih dari
usaha untuk menyesuaikan dui dengan pola-pola kelakuan yang sudah tersedia, dan
setiap bentuk kelakuan yang menyimpang akan dicap sebagai yang anomalis, yang
tak sewajarnya. Dan jika itu ditentang oleh kaidah-kaidah sosial yang sudah
melembaga, maka hal itu akan menjelma dalam bentuk adanya jurang pemisah antara
generasi muda dan generasi tua.
Seyogyanyalah penilaian bertolak
dari suatu asumsi kehidupan yang bersifat kontinum, yang melihat pemuda dan
kepemudaan sebagai suatu tonggak dari "wawasan kehidupan", yang
dengan sendirinya mempunyai potensi serta romantisme dalam suatu kesatuan untuk
mengisi hidupnya.
Pendekatan klasik melihat potensi
dan romantisme pemuda sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, baik pemuda sebagai
perorangan maupun pemuda sebagai anggota kelompok dan anggota dari suatu
masyarakat. Demikian pula usaha¬usaha untuk menyalurkan potensi pemuda
kerapkali bersifat fragmentaris, karena potensi itu dilihat bukan merupakan
sebagian dari aktivitas dalam wawasan kehidupan, tetapi tidak lebih sebagai
penyaluran tenaga dan berlebihan dari pemuda itu.
2) Posisi pemuda dalam arah
kehidupan itu sendiri. Tafsiran-tafsiran klasik didasarkan pada anggapan bahwa
kehidupan mempunyai pola yang banyak sedikitnya. Sudah tentu dan ditentukan
oleh mutu pemikiran yang diwakili oleh generasi tua yang bersembunyi di balik
tradisi. Dinamika pemuda tidak dilihat sebagai sebagian dari dinamika atau
lebih tepat sebagian dari dinamika wawasan kehidupan.
Hal ini disebabkan oleh suatu
anggapan bahwa pemuda tidak mempunyai andil yang berarti dalam ikut mendukung
proses kehidupan bersama dalam masyarakat. Pemuda dianggap sebagai obyek dari
penerapan pola-pola kehidupan dan bukan sebagai subyek yang mempunyai nilai
sendiri.
Dua asumsi yang mendasari
pandangan di atas, kiranya tidak akan memberi jawaban terhadap
"kebinalan" pemuda dewasa ini. Baik gagasan mengenai "wawasan
kehidupan", maupun konsep mengenai tata kehidupan yang dinamis, akan
menggugurkan pandangan klasik, yang menafsirkan kelakuan pemuda dan hidup
kepemudaan sebagai sesuatu yang abnormal.
Pemuda sebagai suatu subyek dalam
hidup, tentulah mempunyai nilai¬nilai sendiri dalam mendukung dan menggerakkan
hidup bersama itu. Hal ini hanya bisa terjadi apabila tingkah laku pemuda itu
sendiri ditinjau sebagai interaksi terhadap lingkungannya dalam arti luas.
Penafsiran mengenai identifikasi pemuda seperti ini disebut sebagai pendekatan
ekosferis.
Di dalam proses identifikasi
dengan kelompok sosial serta norma-normanya itu tidak senantiasa seorang
mengindentifikasi dengan kelompok tempat ia sedang menjadi anggota secara
resmi. Kelompok semacam ini disebut membership-group, kelompok di mana ia
menjadi anggota. Tetapi dalam mengindentifikasi dirina dengan suatu kelompok,
mungkin pula seseorang melakukannya terhadap sebuah kelompok tempat ia pada
waktu itu tidak lagi merupakan anggota atau terhadap kelompok yang ia ingin
menjadi anggotanya. Dalam hal terakhir ini ia mengindentifikasi dirinya dengan
sebuah kelompok di luar membership-group-nya kelompok tempat identifikasi
dirinya disebut juga reference-group.
Jadi, reference-group merupakan
kelompok yang norma-normanya, sikap¬sikapnya, dan tujuannya sangat ia setujui,
dan ia ingin ikut serta dalam arti bahwa ia senang kepada kerangka norma,
sikap, dan tujuan yang dimiliki kelompok tersebut.
2. PEMUDA DAN 1DENTITAS
Pemuda adalah suatu generasi yang
dipundaknya terbebani bermacam-macam harapan, terutama dari generasi lainnya.
Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus,
generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang
harus mengisi dan melangsungkan estafet pembangunan secara terus menerus.
Lebih menarik lagi pada generasi
ini mempunyai permasalahan¬permasalahan yang sangat bervariasi, di mana jika
permasalahan ini tidak dapat diatasi secara proporsional maka pemuda akan
kehilangan fungsinya sebagai penerus pembangunan.
Disamping menghadapi berbagai
permasalahan, pemuda memiliki potensi¬potensi yang melekat pada dirinya dan
sangat penting artinya sebagai sumber daya manusia. Oleh karena itu berbagai
potensi positif yang dimiliki generasi muda ini harus digarap, dalam arti
pengembangan dan pembinaannya hendaknya harus sesuai dengan asas, arah, dan
tujuan pengembangan dan pembinaan generasi muda di dalam jalur-jalur pembinaan
yang tepat serta senantiasa bertumpu pada strategi pencapaian tujuan nasional
sebagaimana terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV.
Proses sosialisasi generasi muda
adalah suatu proses yang sangat menentukan kemampuan diri pemuda untuk
menselaraskan diri di tengah¬tengah kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu
pada tahapan pengembangan dan pembinaannya, melalui proses kematangan dirinya
dan belajar pada berbagai media sosialisasi yang ada di masyarakat, seorang
pemuda harus mampu menseleksi berbagai kemungkinan yang ada sehingga mampu
mengendalikan diri dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat, dan tetap
mempunyai motivasi sosial yang tinggi.
a. Pembinaan dan Pengembangan
Generasi Muda
Pola Dasar Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dalam keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor: 0323/U/1978
tanggal 28 Oktober 1978. Maksud dari Pola Pembinaan dan Pengembangan Generasi
Muda adalah agar semua pihak yang turut serta dan berkepentingan dalam
penanganannya benar-benar menggunakan sebagai pedoman sehingga pelaksanaannya
dapat terarah, menyeluruh dan terpadu serta dapat mencapai sasaran dan tujuan.
yang dimaksud.
Pola Dasar Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda disusun berlandaskan :
1) Landasan idiil : Pancasila
2) Landasan konstitusional : Undang-Undang
Dasar 1945
3) Landasan strategis : Garis-garis
Besar Haluan Negara
4) Landasan historis : Sumpah Pemuda Tahun 1928 dan
Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945
5) Landasan normatif : Etika,
tata nilai dan tradisi luhur yang hidup dalam masyarakat.
Motivasi dasar Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda bertumpu pada strategi pencapaian tujuan nasional, seperti
telah terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Atas dasar kenyataan di atas
diperlukan penataan kehidupan pemuda karena pemuda perlu memainkan peranan yang
penting dalam pelaksanaan pembangunan. Hal tersebut mengingat masa depan adalah
kepunyaan generasi muda, namun disadari pula bahwa masa depan tidak berdiri
sendiri. Ia adalah lanjutan masa sekarang dan masa sekarang adalah hasil masa
lampau. Dalam hal ini, maka Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda haruslah
menanamkan motivasi kepekaan terhadap masa datang sebagai bagian mutlak masa
kini. Kepekaan terhadap masa datang membutuhkan pula kepekaan terhadap
situasi-situasi lingkungan, untuk dapat merelevansikan partisipasinya dalam
setiap kegiatan bangsa dan negara. Untuk itu pula kualitas kesejahteraan yang
membawa nilai-nilai dasar bangsa merupakan faktor penentu yang mewarnai
pembinaan generasi muda dan bangsa dalam memasuki masa datang.
Tanpa ikut sertanya generasi
muda, pembangunan ini sulit berhasil bukan saja karena pemuda merupakan lapisan
masyarakat yang cukup besar, tetapi yang lebih penting tanpa kegairahan dan
kreatifitas pemuda maka pembangunan bangsa kita dalam jangka panjang dapat
kehilangan kesinambungannya.
Apabila pemuda pada masa sekarang
terpisah dari persoalan-persoalan masyarakatnya, maka sulit akan lahir pemimpin
masa datang yang dapat memimpin bangsanya sendiri.
Dalam hal ini Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda menyangkut dua pengertian pokok, yaitu :
a) Generasi muda sebagai subyek pembinaan dan pengembangan
adalah mereka yang telah memiliki bekal-bekal dan kemampuan serta landasan
untuk dapat mandiri dalam keterlibatannya secara fungsional bersama potensi
lainnya, guna men yelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa dalam rangka
kehidupan berbangsa dan bernegara serta pembangunan nasional.
b) Generasi muda sebagai obyek pembinaan dan pengembangan
ialah mereka yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan ke arah
pertumbuhan potensi dan kemampuan-kemampuannya ke tingkat yang optimal dan
belum dapat bersikap mandiri yang melibatkan secara fungsional.
b. Masalah dan Potensi Generasi
Muda 1) Permasalahan Generasi Muda.
Berbagai permasalahan generasi
muda yang muncul pada saat ini antara lain :
a) Dirasa menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan
nasionalisme di kalangan masyarakat termasuk generasi muda.
b) Kekurangpastian yang dialami oleh generasi muda terhadap
masa depannya.
c) Belum seimbangnya antara jumlah generasi muda dengan
fasilitas pendidikan yang tersedia, baik yang formal maupun non formal.
Tingginya jumlah putus sekolah yang diakibatkan oleh berbagai sebab yang bukan
hanya merugikan generasi muda sendiri, tetapi juga merugikan seluruh bangsa.
d) Kurangnya lapangan kerja/kesempatan kerja serta tingginya
tingkat pengangguran/setengah pengangguran di kalangan generasi muda dan
mengakibatkan berkurangnya produktivitas nasional dan memperlambat kecepatan
laju perkembangan pembangunan nasional serta dapat menimbulkan berbagai problem
social lainnya.
e) Kurangnya gizi yang dapat menyebabkan hambatan bagi
perkembangan kecerdasan dan pertumbuhan badan di kalangan generasi muda, hal
tersebut disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kuranguya perhatian tentang
gizi dan menu makanan seimbang di kalangan masyarakat yang berpenghasilan
rendah.
f) Masih banyaknya perkawinan di bawah umur, terutama di
kalangan masyarakat daerah pede saan.
g) Pergaulan bebas yang membahayakan sendi-sendi perkawinan
dan kehidupan keluarga.
h) Meningkatnya kenakalan remaja termasuk penyalahgunaan
narkotika.
i) Belum adanya peraturan perundangan yang rnenyangkut
generasi muda.
Dalam rangka untuk memecahkan
permasalahan generasi muda tersebut di atas memerlukan usaha-usaha terpadu,
terarah dan berencana dari seluruh potensi nasional dengan melibatkan generasi
muda sebagai subyek pembangunan. Organisasi-organisasi pemuda yang telah
berjalan balk adalah merupakan potensi yang slap untuk dilibatkan dalam
kegiatan pembangunan nasional.
2) Potensi-potensi Generasi
Muda/Pemuda
Potensi-potensi yang terdapat
pada generasi muda perlu dikembangkan adalah :
a) Idealisme dan daya kritis.
Secara sosiologis generasi muda
belum mapan dalam tatanan yang ada, maka is dapat melihat kekurangan-kekurangan
dalam tatanan dan secara wajar mampu mencari gagasan baru.
Pengejawantahan idealisme dan
daya kritis perlu untuk senantiasa dilengkapi dengan landasan rasa tanggung
jawab yang seimbang.
b) Dinamika dan kreatifitas.
Adanya idealisme pada generasi
muda, maka generasi muda memiliki potensi kedinamisan dan kreatifitas yakni
kemampuan dan kesediaan untuk mengadakan perubahan, pembaharuan dan
penyempurnaan kekurangan-kekurangan yang ada atau pun mengemukakan
gagasan-gagasan/alternatif yang baru sama sekali.
c) Keberanian mengambil resiko.
Perubahan dan pembaharuan
termasuk pembangunan, mengandung resiko dapat meleset, terhambat atau gagal.
Namun mengambil resiko itu adalah perlu jika kemajuan ingin diperoleh.
Generasi muda dapat dilibatkan
pada usaha-usaha yang mengandung resiko, kesiapan pengetahuan, perhitungan dan
keterampilan dari generasi muda akan memberi kualitas yang baik kepada
keberanian mengambil resiko.
d) Optimis dan kegairahan semangat.
Kegagalan tidak menyebabkan
generasi muda patah semangat. Optimisme dan kegairahan semangat yang dimiliki
generasi muda akan merupakan daya pendorong untuk mencoba maju lagi.
e) Sikap kemandirian dan disiplin murni.
Generasi muda memiliki keinginan
untuk selalu mandiri dalam sikap dan tindakannya. Sikap kemandirian itu perlu
dilengkapi dengan kesadaran disiplin murni pada dirinya, agar dengan demikian
mereka dapat menyadari batas-batas yang wajar dan memiliki tenggang rasa.
f) Terdidik
Walaupun dengan memperhitungkan
faktor putus sekolah, secara menyeluruh baik dalam arti kuantitatif maupun
dalam arti kualitatif generasi muda secara relatif lebih terpelajar karena
lebih terbukanya kesempatan belajar dari generasi-generasi pendahulunya.
g) Keanekaragaman dalam persatuan dan kesatuan.
Keanekaragaman generasi muda
merupakan cermin dari keanekaragaman masyarakat kita. Keanekaragaman tersebut
dapat merupakan hambatan jika hal itu dihayati secara sempit dan ekslusif.
Tapi keanekaragaman masyarakat
Indonesia dapat merupakan potensi dinamis dan kreatif jika keanekaragaman itu
ditempatkan dalam rangka integrasi nasional yang didasarkan atas semangat dan
jiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 serta kesamaan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sehingga
dengan demikian merupakan sumber yang kaya untuk kemajuan bangsa itu sendiri.
Untuk itu generasi muda perlu didorong untuk
menampilkan potensinya yang
terbaik dan diberi peran yang jelas serta bertanggung jawab dalam menunjang
pembangunan nasional.
h) Patriotisme dan nasionalisme.
Pemupukan rasa kebanggaan,
kecintaan dan turut serta memiliki bangsa dan negara di kalangan generasi muda
perlu lebih digalakkan, pada gilirannya akan mempertebal semangat pengabdian
dan kesiapannya untuk membela dan mempertahankan bangsa dan negara dari segala
bentuk ancaman. Dengan tekad dan semangat ini generasi muda perlu dilibatkan
dalam setiap usaha dan pemantapan ketahanan dan pertahanan nasional.
i) Sikap kesatria.
Kemurnian idealisme, keberanian,
semangat pengabdian dan pengorbanan serta rasa tanggung jawab social yang
tinggi adalah unsur-unsur yang perlu dipupuk dan dikembangkan terus menjadi
sikap kesatria di kalangan generasi muda Indonesia sebagai pembela dan penegak
kebenaran dan keadilan bagi masyarakat dan bangsa.
Kemampuan penguasaan ilmu dan
teknologi.
Generasi muda dapat berperan
secara berdaya guna dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi bila secara
fungsional dapat dikembangkan sebagai transformator dan dinamisator terhadap
lingkungannya yang lebih terbelakang dalam ilmu dan pendidikan serta penerapan
teknologi, baik yang maju, madya maupun yang sederhana.
Sosialisasi adalah proses yang
membatu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan
berpikir agar is dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Proses sosia lisasi sebenarnya berawal dari dalam
keluarga.
Bagi anak-anak yang masih kecil,
situasi sekelilingnya adalah keluarga sendiri. Gambaran diri mereka merupakan
pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada mereka. Persepsi mereka
tentang dirinya dunia dan masyarakat di sekelilingnya secara langsung
dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarga-keluarga mereka. Nilai-nilai
yang dimiliki oleh individu dan berbagai peran diharapkan dilakukan oleh
seseorang, semuanya berawal dari dalam lingkungan keluarga sendiri.
Melalui proses sosialisasis,
individu (pemuda) akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya
dengan proses sosialisasi, individu menjadi tahu bagaimana is mesti bertingkah
laku ditengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Kepribadian seseorang
melalui proses sosialisasi dapat terbentuk di mana kepribadian itu merupakan
suatu komponen pemberi atau penyebab warna dari wujud tingkah laku sosial manusia,
jadi dalam hal ini sosialisasi merupakan salah saw proses belajar kebudayaan
dari anggota masyarakat dalam hubungannya dengan sistem sosial. Dalam proses
tersebut seorang individu dari masa anak-anak hingga dewasa belajar pola-pola
tindakan dalam interaksi beraneka ragam atau macam peranan sosial yang mungkin
ada dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap individu dalam masyarakat
yang berbeda mengalami proses sosialisasi yang berbeda pula, karena proses
sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial
yang bersangkutan. Jadi sosialisasi dititikberatkan soal individu dalam
kelompok melalui pendidikan dan perkembangannya. Oleh karena itu proses
sosialisasi melahirkan kedirian (self) dan kepribadian seseorang terhadap diri
sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya.
Proses sosialisasi ini berarti
tidak berhenti sampai pada keluarga, tapi masih ada lembaga lainnya. Cohen
(1983) menyatakan bahwa lembaga¬lembaga sosialisasi yang terpenting ialah
keluarga, sekolah, kelompok sebaya dan media masa. Dengan demikian sosialisasi
dapat berlangsung secara formal ataupun informal. Secara formal, proses
sosialisasi lebih teratur karena di dalamnya disajikan seperangkat ilmu
pengetahuan secara teratur dan sistematis serta dilengkapi oleh perangkat norma
yang tegas dan harus dipatuhi oleh setiap individu. Proses sosialisasi ini
dilakukan secara sadar dan sengaja. Sedangkan yang informal, proses sosialisasi
ini bersifat tidak sengaja, terjadinya ini bila seseorang individu mempelajari
pola-pola keterampilan, norma atau perilaku melalui pengamatan informal
terhadap interaksi orang lain.
Meskipun sosialisasi itu mungkin
berbeda-beda dalam berbagai lembaga, kelompok maupun masyarakat, namun sasaran
sosialisasi itu sendiri banyak memiliki kesamaan.
Tujuan pokok sosialisasi adalah :
1) Individu harus diberi ilmu
pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.
2) Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan
mengembangkan kemampuannya.
3) Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipela jari
melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
4) Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan
kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat
umumnya.
Faktor lingkungan bagi pemuda
dalam proses sosialisasi memegang peranan penting, karena dalam proses
sosialisasi pemuda terus berlanjut dengan segala daya imitasi dan identitasnya.
Pengalaman demi pengalaman akan diperoleh pemuda dari lingkungan sekelilingnya.
Lebih-lebih pada masa peralihan dari masa muda menjelang dewasa, di mana sering
terjadi konflik nilai, wadah pembinaan harus bersifat fleksibel, mampu dan
mengerti dalam membina pemuda harus mematikan jiwa mudanya yang penuh dengan
fasilitas hidup.
3. PERGURUAN DAN PENDIDIKAN.
A. MENGEMBANGKAN POTENSI GENERASI
MUDA
Jika pada abad ke 20 ini Planet
Bumi dihuni oleh mayoritas penduduk berusia muda, dengan perkiraan berusia 17
tahunan, tentu akan menimbulkan beberapa pertanyaan. Dua di antara deretan
pertanyaan yang muncul adalah: Apakah generasi muda itu telah mendapat kesempatan
mengenyam dunia pendidikan dan keterampilan sebagai modal utama bagi insan
pembangunan? Sampai di mana penyelenggaraan pendidikan formal dan non formal
berperan bagi pembangunan, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang?
Pada kenyataannya negara-negara
sedang berkembang masih banyak mendapat kesulitan untuk penyelenggaraan
pengembangan tenaga usia muda melalui pendidikan. Sehubungan dengan itu
negara-negara sedang berkembang merasakan selalu kekurangan tenaga terampil
dalam mengisi lowongan¬lowongan pekerjaan tertentu yang meminta tenaga kerja
dengan keterampilan khusus. Kekurangan tenaga terampil itu terasa manakala
negara-negara sedang berkembang merencanakan dan berambisi untuk mengembangkan
dan memanfaatkan sumber-sumber alam yang mereka miliki. Misalnya dalam
eksplorasi dan eksploitasi sektor
pertambangan, baik yang berlokasi di darat maupun yang ada di lepas pantai.
Hal yang sama juga dirasakan
manakala negara-negara sedang berkembang berniat untuk melaksanakan
program-program industrialisasi yang menuntut tenaga-tenaga terampil
berkualitas tinggi.
Di negara-negara maju, salah satu
diantaranya adalah Amerika Serikat. Di negeri ini pada umumnya para generasi
muda mendapat kesempatan luas dalam mengembangkan kemampuan dan potensi idenya.
Para mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda, didorong, dirangsang dengan
berbagai motivasi dan dipacu untuk maju dalam berlomba menciptakan suatu ide/
gagasan yang harus diwujudkan dalam suatu bentuk barang, dengan berorientasi
pada teknologi mereka sendiri. Untuk mengembangkan ide-ide/gagasan¬gagasan itu,
Institut Teknologi Maschussests (MIT) Universitas Oregon dan universitas
Carnegie mellon (CMU) pada tahun 1973 di Pittsburgh, Pennsyl¬vania, telah
membuat proyek bersama berjangka waktu lima tahunan, melibatkan sekitar 600
mahasiswa dan 55 anggota fakultas dalam program-program belajar dan membaharu
dalam wadah Nasional Science foundation (NSF), di masing-masing pusat inovasi
universitas-universitas tersebut. Hasil yang dicapai proyek itu : Lebih dari
dua lusin produk, proses atau pelayanan baru telah dipasarkan dan menciptakan
hampir 800 pekerjaan baru, dan memperoleh hasil penjualan sebesar $46,5 juta
(Kingsbury, Louise, 1978: 59).
Gagasan dan pola kerja yang
hampir serupa telah dikembangkan pula di negara-negara Asia, misalnya : Jepang,
Kore Selatan, Singapura, Taiwan. Jerih payah dan ketentuan para inovator pada
sektor teknologi industri itu membawa negara-negara itu tampil dengan lebih
menyakinkan sebagai negara¬negara yang berkembang mantap dalam perekonomiannya.
Sebagaimana upaya bangsa
Indonesia untuk mengembangkan potensi tenaga generasi muda agar menjadi
inovator-inovator yang memiliki keterampilan dan skill berkualitas tinggi.
Pembinaan sedini mungkin
difokuskan kepada angkatan muda pada tingkat SLTP/SLTA, dengan cara
penyelenggaraan lomba karya ilmiah tingkat nasional oleh lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Minat generasi muda untuk mengikuti lomba karya
ilmiah dari berbagai cabang disiplin ilmu itu ternyata lebih banyak dari perkiraan
semula. Setiap tahun peserta lomba karya ilmiah remaja itu semakin bertambah
jumlahnya. Yang sangat menggembirakan, dalam usia yang belia itu mereka telah
mampu menghasilkan karya-karya ilmiah yang cukup membikin kagum para
cendikiawan tua.
Pembinaan dan pengembangan
potensi angkatan muda pada tingkat perguruan tinggi, lebih banyak diarahkan
dalam program-program studi dalam berbagai ragam pendidikan formal. Mereka
dibina digembleng di laboratorium¬laboratorium dan pada kesempatan-kesempatan
praktek lapangan.
Kaum muda„memang betul-betul
merupakan suatu sumber bagi pengembangan masyaraka dan bangsa. Oleh karena itu,
pembinaan dan perhatian khusus harus diberikan bagi kebutuhan dan pengembangan
potensi mereka.
B. PENDIDIKAN DAN PERGURUAN
Namun demikian tidak dapat
disangkal bahwa kualitas sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam proses pembangunan. Hal ini karena manusia bukan semata-mata
menjadi obyek pembangunan, tetapi sekaligus juga merupakan subyek pembangunan.
Sebagai subyek pembangunan maka setiap orang harus terlibat secara aktif dalam
proses pembangunan; sedangkan sebagai obyek, maka hasil pembangunan tersebut
harus bisa dinikmati oleh setiap orang.
Disinilah terletak arti penting
dari pendidikan sebagai upaya untuk terciptanya kualitas sumber daya manusia,
sebagai prasarat utama dalam pembangunan. Suatu bangsa akan berhasil dalam
pembangunannya secara `self propelling' dan tumbuh menjadi bangsa yang maju
apabila telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi
dengan pembangunan) dalam pendidikan penduduknya. Modernisasi Jepang agaknya
merupakan contoh prototipe dalam hubungan ini.
Indonesia demikian pula
menghadapi kenyataan untuk melakukan usaha keras "mencerdaskan kehidupan
bangsa". Dewasa ini sudah sekitar 80% dari usia Sekolah Dasar (6-12) tahun
dapat ditampung oleh fasiltias pendidikan dasar yang ada. Persentase jumlah
penduduk yang masih buta huruf diperkirakan sebagai 40%.
Tetapi masalah pendidikan bukan
saja masalah pendidikan formal, tetapi pendidikan membentuk manusia-manusia
membangun. Dan untuk itu diperlukan kebijaksanaan terarah dan terpadu di dalam
menangani masalah pendidikan ini. Rendahnya produktivitas rata-rata penduduk,
banyaknya jumlah pencari kerja, "Under utilized population", kurangnya
semangat keWiraswastaan, merupakan hal-hal yang memerlukan perhatian yang
sungguh¬sungguh.
Sebab hal itu semua akan berarti
belum terlepasnya Indonesia dari belenggu keterbelakangan dan kemiskinan
sebagaimana diharapkan pendidikan yang dapat mengembangkan semangat "inner
will peningkatan kemampuan din dan bangsa" yang terpencar dalam
pembangunan pendidikan mental, intelektuan dan profesional bagi seluruh
penduduk dan pemuda Indonesia.
Sebagai satu bangsa yang
menetapkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan negara Indonesia, maka
pendidikan nasional yang dibutuhkan adalah pendidikan dengan dasar dan dengan
tujuan menurut Pancasila. Dalam implementasinya, pendidikan tersebut diarahkan
menjadi pendidikan pembangunan, satu pendidikan yang akan membina ketahanan
hidup bangsa, baik secara fisik maupun secara ideologis dan mental. Melalui
pendidikan itu diharapkan bangsa Indonesia akan mampu membebaskan din dari
belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, melalui suatu alternatif pembangunan
yang lebih baik, serta menghargai kemajuan yang antara lain bercirikan
perubahan yang berkesinambungan.
Untuk itu maka diperlukan adanya
perubahan-perubahan secara mendasar dan mendalam yang menyangkut persepsi,
konsepsi serta norma-norma kependidikan dalam kaitannya dengan cita-cita
bermasyarakat Pancasila. Dalam hal ini kiranya pemerintah telah cukup berhasil
dalam menegakkan landasan¬landasan ideal serta landasan koseptual terhadap
pembaharuan pendidikan menuju sistem pendidikan nasional yang tepat arah dan
tepatguna.
Bila dibandingkan dengan
sektor-sektor pembangunan lainnya, sektor pendidikan termasuk sektor yang cukup
pesat kemajuannya; kalau tidak dalam aspek kualitatif, sedikitnya dalam aspek
kuantitatif, sektor tersebut telah mencapai hasil yang dapat dibanggakan. Pada
saat ini bukan saja jumlah para remaja yang dapat ditampung dalam pendidikan
formal melonjak tinggi, tetapi juga semakin besar jumlah dari mereka yang
berkesempatan mendapatkan pendidikan non formal dengan berbagai keahlian dan
keterampilan. Tidak berlebihan kiranya apabila prestasi keseluruhan ini dinilai
sebagai suatu permulaan yang akan merupakan pra kondisi yang subur menuju
terciptanya satu masyarakat belajar secara menyeluruhan.
Akan tetapi, tanpa mengecilkan
arti dari semua yang telah dicapai selama ini; berbagai masalah telah timbul,
yaitu masalah-masalah obyektif yang baru, yang tidak pernah ada sebelumnya.
Setidak-tidaknya dua faktor yang
dapat kita amati sebagai faktor yang sangat penting dalam pembangunan dewasa
ini : semakin banyaknya manusia yang membutuhkan pendidikan dan semakin
bervariasinya mutu pendidikan yang diharapkan oleh mereka.
Walaupun pada saat ini sistem
pendidikan mulai dikelola secara lebih terbuka dan memungkinkan diterapkannya
inovasi teknologi serta perkembangan-perkembangan ilmu mutakhir, dan walaupun
anggaran biaya¬biaya kependidikan semakinhari semakin bertambah sehingga telah
merupakan jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan biaya pembinaan sektor
lainnya, nampaknya persoalan yang tidak mudah diatasi. Demokratisasi
kependidikan, baik yang berjalan secara horizontal maupun yang bergerak ke arah
vertikal, adalah masalah-masalah sehari-hari yang dihadapi pemerintah di dalam
rangka mewujudkan cita-cita pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara di
dalam konteks masyarakat keseluruhannya.
Dalam arti inilah, maka
pembicaraan tentang generasi muda/pemuda, khususnya yang berkesempatan
mengenyam pendidikan tinggi menjadi penting, karena berbagai alasan.
Pertama, sebagai kelompok
masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mereka memiliki pengetahuan yang
luas tentang masyarakatnya, karena adanya kesempatan untuk terlibat di dalam
pemikiran, pembicaraan serta penelitian tentang berbagai masalah yang ada dalam
masyarakat. Kesempatan ini tidak dimiliki oleh generasi muda pemuda pada
umumnya. Oleh karena itu, sungguh pun berubah-ubah, namun mahasiswa termasuk
yang terkemuka di dalam memberikan perhatian terhadap masalah-masalah yang
dihadapi oleh masyarakat secara nasional.
Kedua, sebagai kelompok
masyarakat yang paling lama di bangku sekolah, maka mahasiswa mendapatkan
proses sosialisasi terpanjang secara berencana, dibandingkan dengan generasi
muda/pemuda lainnya. Melalui berbagai mata pelajaran seperti PMP, Sejarah dan Antropologi
maka berbagai masalah kenegaraan, dan kemasyarakatan dapat diketahui.
Ketiga, mahasiswa yang berasal
dari berbagai etnis dan suku bangsa dapat menyatu dalam bentuk terjadinya
akulturasi sosial dan budaya. Hal ini akan memperkaya khasanah kebudayaannya,
sehingga mampu melihat Indonesia secara keseluruhan.
Keempat, mahasiswa sebagai
kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur
perekonomian dan prestise di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan
elite di kalangan generasi muda/ pemuda, umumnya mempunyai latar belakang
sosial, ekonomi, dan pendidikan lebih baik dari keseluruhan generasi muda
lainnya. Dan adalah jelas bahwa mahasiswa pada umumnya mempunyai pandangan yang
lebih luas dan jauh ke depan serta keterampilan berorganisasi yang lebih baik
di bandingkan dengan generasi muda lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar